LDR Tale (Cinta dan Air mata) I



Aku masih terdiam. Dengan segala sesak yang memuncak. Dengan segala perasaan takut yang berlebihan. Sebenarnya aku tak mau seperti ini. Tak mau terpisah oleh jarak dan waktu dengan orang yang hampir satu tahun ini menemaniku. Berbagi rasa sayang, berbagi segala suka dan duka nya denganku. Kenapa ini harus terjadi Tuhan? Aku tak tahu harus bagaimana bila dalam satu tahun aku hanya bisa bertemu dengan nya dua kali saja. Itu pun kalau dia bisa menyempatkan waktu nya untukku.
“Udah jangan nangis lagi” kata itu masih aku ingat, saat aku akan melepas dia jauh ke negeri orang. Aku masih diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Meskipun rasa nya aku ingin sekali meluapkan segala sedih ini. Tapi mulutku seperti terkena lem, tak bisa di buka untuk mengeluarkan kata-kata. Hanya air mata yang masih saja tak mau berhenti mengalir dari kedua kelopak mataku. Ah, rasa nya ini terlalu sesak, terlalu menyakitkan, aku masih tak bisa menerima kenyataan. Walau sebenarnya aku senang dan bangga akan sosok yang masih memelukku waktu itu. Harus nya aku tak boleh seperti ini. Karena apabila aku terus menangis, itu akan memberatkan hatinya dan tak tega untuk pergi. Ini adalah kesempatan dia untuk menuntut ilmu di negeri sakura, Jepang. Aku harus bangga, aku harus senang, aku tak boleh terus menangis seperti ini. Tapi, apa daya? Ini memang kenyataan nya. Aku tak bisa memendam, aku tak bisa berpura-pura tegar di hadapannya. Perasaan tak bisa berbohong. Dan air mata ini masih terus saja mengalir.
“Tolong jangan menambah beban, kalau kamu terus menangis, aku akan semakin merasa ragu ninggalin kamu di sini” Dia masih membujukku untuk berhenti menangis. Dengan lembut, dia melepaskan pelukannya. Dan dengan satu gerakan dia memegang pundakku menyuruhku untuk menatap mata cokelat nya. Menghapus air mata yang basah di pipi.
Jelas, aku tak sanggup melihat mata cokelat itu. Atas perlakuan nya saat itu, aku hanya bisa memeluk nya, dan semakin menjadilah tangis ini.
“Aku janji gak akan pernah lupa ngabarin kamu di sana. Aku janji, akan menyempatkan waktu untuk kamu walaupun itu cuma sebentar. Aku janji, di sana aku akan selalu setia. Sekarang, tolong kamu berhenti menangis. Aku gak mau kamu terus sedih karena aku harus kuliah di Jepang. Jangan memberatkan hati.” Dia masih memelukku erat. Dan kata-kata itu, menghentikan air mataku yang sejak tadi mengalir. Kata-kata itu bisa menghipnotis.

Dua minggu berlalu, dia menepati janji nya. Tak pernah lupa mengabari segala kegiatan disana. Mulai dari dia kuliah, dia mengerjakan tugas, dia hangout. Semua kegiatannya, tak pernah dia lupa untuk mengabari. Walaupun hanya Via Internet. Bahkan sesekali, jika sempat dia selalu menghubungi lewat Skype. Dan, ini yang selalu aku tunggu. Agar bisa melihat wajah nya. Melihat mata cokelat yang selalu aku kagumi sejak pertama bertemu dengannya. Melihat senyum nya yang menenangkan.
“Aku kangen kamu ada di sini. Aku pengen, kamu masak nasi goreng buat aku lagi...” Aku mengeluh saat sedang bercakap melalui Skype hari itu. Kebetulan, dia sedang tak ada kesibukan. Sehingga, bisa menyempatkan diri untuk mengabari.
“Nay, ini baru hitungan minggu. Kamu harus kuat. Aku yakin, suatu saat kita bisa melakukan segala hal berdua lagi. Jangan kalah sama jarak”
“Iya.. Tapi kan..” Aku mencoba mengelak. Tapi, senyum yang selama ini aku bisa lihat langsung. Kini mengembang di depan layar laptop. Bukan di depan mata. Namun, itu cukup membuatku terbujuk.
Dan, dia selalu mempunai cara agar aku tak mengeluh terus. Tuhan terimakasih kau telah menghadirkan dia di hidupku. Bisikku dalam hati.
                Hari berganti minggu. Minggu berganti Bulan. Tak terasa ini sudah bulan ke enam, aku harus terpisah oleh benteng yang begitu besar dan luas, yang sulit untuk di lewati. Dan dalam hitungan bulan tersebut, mulai terasa perubahan-perubahan kecil yang cukup berefek besar. Mulai dari, pesan di sosial media maupun e-mail yang kadang lupa dia balas. Untuk yang satu itu, awal nya aku bisa memaklumi. Tapi karena hal kecil itu terlalu sering di lakukan, membuatku jengkel juga. Ya, kesibukan nya akhir-akhir ini cukup membuatku uring-uringan. Aku tahu, harusnya aku tak boleh mudah bosan seperti ini. Tapi, tetap saja aku selalu merasa kesal kalau dia selalu lupa dan lupa. Akibat itu pula, aku jadi merasa sikap nya sedikit berubah. Sekarang, dia terlalu dingin untuk menanggapi keluhan-keluhanku. Tak seperti enam bulan lalu. Dia yang selalu meredakan segala keluhanku. Mungkin, ini hanya perasaan ku saja. Karena aku terlalu bosan menunggu dia membalas pesan-pesan  yang masuk ke akun e-mail nya. Padahal aku tahu sendiri, kalau dia sibuk. Benar-benar sibuk. Ah, perlakuan mu itu membuat ku semakin Rindu saja, namun bercampur kesal.

Minggu, 26 Agustus 2012.
Tanggal itu masih tertera besar-besar di cermin kamarku. Aku sengaja menulis tanggal itu besar-besar. Bahkan aku juga mencantumkan Jam 13.00 WIB untuk waktu di mana kamu biasa menghubungiku via Skype. Kali ini beda, tanggal yang bertepatan pada hari ini begitu spesial untukku. Untuk kita berdua. Ini hari jadi kita yang ke satu setengah tahun. Aku sudah duduk manis di kursi meja belajar. Dan tentu nya di depan layar laptop. Selagi menunggu, aku iseng-iseng berpose untuk foto yang akan aku kirim pada nya. Mulai dari pose ‘Alay’ , pose memegang cupcake yang baru saja aku buat dan berbagai pose lainnya. Bahkan aku menulis kata ‘I MISS YOU Baby’ di sebuah kertas dan aku foto, juga untuk aku kirimkan pada nya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda dia menghubungiku. Aku sangat berharap dan sangat yakin laki-laki bermata cokelat itu  akan menghubungi ku, karena dia pasti akan mengucapkan kata-kata romantis di hari jadi kita ini. Ah, mungkin dia masih ada kegiatan, sehingga telat untuk menghubungiku. Aku mencoba berpikir positive.
Tapi, ini sudah jam kedua yang terlewat dari jadwal yang biasa di tentukan. Pikiran negative mulai memenuhi otakku. Apa dia lupa, kalau hari ini hari jadi aku dan dia? Apa dia sebegitu tak ada waktu nya untukku? Bahkan di hari libur sekali pun? Aku mulai bimbang, air mataku tak bisa tertahankan lagi. Mengalir tanpa permisi di kedua pipiku. Sampai akhirnya aku lelah menunggu dan tertidur. Berharap saat bangun kamu mengabari ku.
Malam pun datang, tapi tak ada kabar dari dia. Aku semakin uring-uringan. Dia benar-benar lupa. Air mataku kembali mengalir. Padahal bekas menangis sore tadi pun masih terlihat sembab nya. Ah, aku tak boleh lemah seperti ini. Aku harus kuat.

To be Continue...

By : Evi Purwanti

0 komentar:

Posting Komentar